BARU-BARU ini saya bertemu dengan sahabat penulis, Pak William Wiguna, dan beliau sudah melakukan riset bertahun-tahun tentang karakter dan perilaku manusia, terutama dalam kaitannya untuk mengembangkan potensi diri.
Saya tergelitik ketika ditanya, siapa yang bapak cari ketika merekrut tim dalam perusahaan? Apakah mencari tim yang pintar atau tim yang rajin?
Jika Anda diajukan pertanyaan ini, apa yang menjadi jawaban Anda?
Saya langsung mendapatkan insight, dalam istilah saya di bacakilat, aktivasi otomatis, buku yang sudah saya baca bertahun-tahun yang lalu.
Pintar umumnya menjadi hal yang dikejar oleh kebanyakan orang. Sekolah supaya pintar. Belajar supaya pintar. Dan itu bukanlah sesuatu yang salah. Namun, fokus pada hal yang kurang tepat.
Karena pintar adalah label. Pintar adalah hasil akhir. Jika kita melihat dari sudut pandang Eksekusi pintar adalah Vital Sign. Hasil yang diinginkan. Tapi yang jauh lebih penting adalah apa yang bisa membuat Vital sign itu terjadi. Vital sign adalah indikator dari kita melakukan hal yang benar. Dan Vital sign tidak bisa kita pengaruhi.
Yang bisa membuat Vital Sign itu terjadi adalah Vital Activity. Aktivitas penting yang akan membuat Anda menjadi lebih baik. Menjadi lebih pintar dan mendapatkan apa yang Anda inginkan. Inilah yang bisa kita pengaruhi, buat lebih baik, sehingga vital sign yang kita inginkan bisa terjadi.
Dalam hal ini, vital activity masuk dalam kategori Rajin. Bukan pintar. Karena pintar belum tentu rajin, sementara jika rajin, pintar hanya masalah waktu, jika saat ini masih belum he-he-he.
Satu lagi pertanyaan yang membuat saya tergelak tawa, Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun itu, dikarenakan apa?
Apa pandangan umum tentang pertanyaan itu? Karena kita bodoh?
Lalu bahkan banyak pendapat yang mengatakan, “Coba kita dijajah oleh Inggris.”
Nah, sebenarnya bodoh atau pintar sekali lagi bukan fokus yang tepat.
Pak William mengatakan kita bisa mengalami hal demikian karena malas. Dan saya setuju dengan yang disampaikan beliau. Ini adalah tentang apa yang menjadi fokus kita. Apa yang menjadi panutan kita.
Apakah vital sign atau vital activity. Apakah sesuatu yang tidak bisa kita pengaruhi — harga mati, atau sesuatu yang bisa kita pengaruhi dan ubah dengan kita mendedikasikan waktu dan usaha.
Masyarakat lebih mudah memberikan label. Dan umumnya, kita sering terlalu cepat, tanpa mengamati gambaran lebih utuh.
Suatu hari ketika saya sedang makan di sebuah resoran vegan, saya sedang menyuapi anak saya. Dan setelah hampir semangkuk mie habis, anak saya mengantuk dan memutar badannya ke belakang kursi. Kemudian seorang ibu-ibu yang keliatan rapi dan bijak, langsung berkata, “Lho Kok ga mau makan? Masih belum habis tuh makanannya. Gimana sih?”
Saya dan istri langsung tertawa. Begitu mudahnya memberikan sebuah pandangan, dan tanpa keinginan untuk memahami situasi. Label-label yang diberikan umumnya adalah label yang bersifat tetap.
Dalam istilah Prof. Carol Dweck ini adalah pola pikir tetap. Pintar atau bodoh memberikan kita pola pikir tetap, yang seolah itu adalah sebuah hasil akhir yang tidak bisa diubah atau ditingkatkan. Label ini membuat seseorang malas berusaha. Karena ia akan merasa berusaha pun sia-sia, saya kan bodoh.
Atau jika ia pintar, maka ia merasa tidak perlu berusaha, toh saya pintar. Pasti bisa.
Jika tanpa sadar Anda sudah mengadopsi pemikiran ini, maka saatnya untuk mulai memberikan label yang lebih baik, label yang mana menurut istilah Prof. Carol Dweck, pola pikir bertumbuh.
Pola pikir di mana apapun, jika Anda memberikan usaha, dan dedikasi waktu Anda bisa mencapai atau mewujudkannya. Jika kita melabel diri dengan saya Rajin. Atau kita mencari orang yang rajin. Maka itu sama dengan kita mencari orang yang memiliki pola pikir bertumbuh.
Baca juga :
Mobil Termahal di Dunia Orang rajin akan mencari cara agar ia bisa melakukan apa yang belum bisa dilakukan saat ini. Orang rajin mengatakan Belum bisa. Orang Pintar mengatakan Tidak Bisa.
sumber : metrotvnews.com